Panasnya Hari Pembalasan


  Siang itu begitu terik dengan debu berterbangan sepanjang jalan. Sepinya jalanan Karawang bercampur kawasan kumuh menjadi serba gersang. Pak Kosim berhenti menggendong gerobak permen gulali sembari duduk dibawah pohon kersen yang mengabu. Ia lemas, sudah beberapa hari terakhir makan hanya sehari sekali. Terkecuali hari ini, panasnya udara hanya menambah lapar ia yang tak tersentuh nasi seharian. Tangannya gemetar sambil berusaha membuka rokok kretek lintingannya. Sambil mengepulkan tembakau, ia pejamkan mata.

   Tetiba, ia merindukan anaknya yang sudah puluhan tahun tak menjenguk. Capek dan sepi terasa merayap, hidup sendiri membuatnya jijik. Jika saja ia tau kapan harus berhenti berjudi, mungkin keluarga dan rumahnya masih utuh. Dendamnya masih menyala walau sedikit pada manusia bernama Edi Suryatna. Seharusnya, ia tidak terhasut untuk menghabiskan hartanya. Setelah itu, ia tak pernah melihat Edi kecuali hari runtuhnya. Anak-anak yang takut kepadanya, istri yang muak, kebangkrutan yang melanda, ya ini adalah salah Kosim. Kini ia harus membawa kesalahan itu bersama sisa hidupnya. 

    Dalam lamunannya, terdengar suara menggelegar dari bahu jalan. Terlihat sebuah mobil BMW porak menabrak pembatas jalan. Tak ada siapapun kecuali Kosim. Dengan sisa tenaga, ia berlari mengharap semua selamat. Setelah membuka pintu, ia coba keluarkan sang pengemudi. Tak ayal, ingatannya menyeruak. Wajah orang yang ia cari akhirnya didepan mata merintih terluka. Ia bingung, haruskah ia tolong? Manusia brengsek yang sekarat memohon tolong sedang tak ada lain orang kecuali ia. Tidak, tuhan sengaja memberi jalan untuk Kosim membalas pikirnya. Ia cekik keras-keras sambil menangis, berharap waktu dan keluarganya kembali. Sore itu, banyak warga bergerombol karena ada laporan penemuan mayat. Seorang lelaki tua yang memegang rokok terbaring kaku. Bersama gerobak permen gulali di depan jalan yang baru saja disahkan Gubernur Edi Suryatna.


No comments:

Post a Comment