Selama berada di kantor, dari kita kebanyakan akan memaksakan diri untuk fokus pada pekerjaan. Kalaupun melenceng, itupun sesekali. Wajar bila begitu karena memang sudah nalurinya. Akupun demikian. Kala sedang senggang, sesekali sengaja ke belakang. Agar supaya dapat bertemu rupaku yang hendak dirapihkan.
Selagi berjalanya karir, beberapa diantara kita telah berpikir jauh. Dalam lubuk hatinya, mengharap jabatan tinggi ditempat kecil merupakan keniscayaan. Sebab akal sehat mana pula yang menyetujui ide-ide bagus muncul ditengah kerapatan pikiran. Ia telah mengambil jalur-jalur tengah kanan kiri guna menimbang kemana setelah ini. Dengan begitu, biar tak pasti namun rel pemberangkatanya perlahan ia cacah dari batu kali.
Sedang diujung sebrang sana, seorang bapak renta itu sedang mengaduk mie ayam sambil merunduk dibawa umur. Celotehnya membawa cerita tentang masa-masa kala ia menjadi primadona dipekerjaanya. Ia tekuni betul puluhan tau dengan jarak tempuh amat panjang. Bangganya ia berceloteh tentang kesibukan dan ambisinya. Sekarang, ia sadar selama ini tak kemana-mana. Kecuali mengaduk mangkok mie ayam sedang inginku makan roti john.
Memang benar ternyata, mengapa rasanya sangat aneh bila mendapat komplimen? Seakan saya tidak berhak untuk mendapat barang sedikit pujian. Padahal, boleh jadi saya sangat senang mendengarnya dan menerimanya dengan suka cita. Beberapa hari terakhir, beberapa komplimen yang muncul agak aneh di kuping saya. Walau kerap saya dipanggil "koko" atau "korea-korean" satu ini agak aneh.
Saat sedang membicarakan soal binari trading, saya yang iseng ini berusaha mencairkan suasana dengan bertanya-tanya. Tentu saja, ini bukan basa basi belaka, sebab memang betul saya tidak mengerti. Walhasil, pembicaraan menjadi panjang mengarah ke saham. Saya yang sedikit tau, tentu bisa mengimbangi pembicaraan. Tetiba teman saya nyeletuk "mas iki ga main saham itu bohong. Mesti suhunya iki. Kalau suhu diajak ngomong nyambung, pas ditanya bilang gatau". Sejujurnya, saya agak kaget. Sebab-sebab memang saya tidak main saham walau betul ingin. Tapi hal ini saya anggap komplimen karena "bisa jadi" memang muka saya "berkecukupan" untuk main saham. Padahal...
Lain lagi selanjutnya. Memang komplimen dari lawan jenis adalah yang paling wahid nikmatnya dikuping, hati dan ego. Tapi saya rasa, komplimen jujur memang agak sedikit menyentil ego lebih keras. Teman saya tetiba berkata "Samean iki koyok korea-korea ya mas. Kakinya jenjang jadi keren gitu". Ini merupakan jenis komplimen yang paling tidak terpikirkan dari sudut manapun.
Sehingga diperjalanan saya berpikir, kenapa komplimen ini rasanya aneh? Apa bersebab, ekspektasi saya berbeda dengan penilaian mereka? Atau self-esteem yang terlalu rendah? Barangkali saya tidak punya jawaban, namun kepastiannya, saya menikmati komplimen tersebut. Terimakasih.
Ibarat jam, materi marketing kerap kali harus dikalibrasi ulang. Sebab ke-akurat-an waktu dalam jam sering mempengaruhi kita dalam menerka. Sehingga kali - kali, atau kalau perlu sesering mungkin melihat dan mengatur performa. Betul, tidak seharusnya ia kita utak atik tiap hari. Karena seperti jam, konten marketing harus bisa settle setelah beberapa lama diajukan uji coba. Namun memang betul, begitu liar hingga-hingga tak ada waktu untuk duduk diam. Sebab belajar harus sampai mati. Minimal, tidak ada lagi detikan waktu diantara para konsumen.
Bicara soal keinginan, terkadang rupanya seakan tak berwujud. Sebab ia berkali-kali merubah bentuk. Kadang benda, kadang ucapan, kadang pandangan, kadang suasana, kadang-kadang muncul, kadang-kadang menempel. Saking banyaknya, kerap kita jumpai pribadi yang kalap dalam berkeinginan. Ia bahkan tak sadar, telah tercebur sangat dalam bersama seluruh hasratnya. Akhirnya? kesenangan sesaat itu, berakhir jadi duka berkepanjangan. Note to self.
Sore ini, tak seperti biasa saya sudah berleha-leha dikamar. Riuhnya hari libur kali ini nampaknya disemaraki oleh banyak orang. Entah mengapa, perasaan menjadi sangat sendu. Seakan sedih menyeliputi bagi mereka-mereka yang tertinggal. Bukan, bukan sedih karena tidak bisa mudik. Sebab bagi saya, lebaran hanya hari libur dengan acara berlebih. Namun, perkara ini lebih dari itu. Untuk pertama kali, saya merasa sendiri di kota orang. Kondisi ini, memperparah keadaan saat tahu bahwa, tak ada tempat bersembunyi di kota ini.
Saya akhirnya menyadari, bahwa Malang adalah kota dimana saya bisa bernafas tanpa berpikir. Entah seburuk apapun keadaanya. Namun disini, berpikir untuk bernafas saja sudah enggan. Mungkin benar, barangkali saya yang kurang melanggang jauh. Bisa jadi tempat itu ada di kafe, di mall, di perpustakaan kota, di pinggir jalan, atau mungkin selama ini dikasur sendiri. Biarpun begitu, saya yakin. Akan ada saatnya ia kembali cerah menyilaukan. Sebab seperti kesenangan, kesedihan kerap kembang kerut dalam hidup.
Menjelang lebaran, orang berbondong-bondong menyerbu pasar. Serbuannya pun diikuti dengan irama ketimur-timuran. Riuh antara pedagang yang menyiapkan pesanan dilabrak orang-orang yang kentara tak sabar segera menyerobot antrian. Hal ini lumrah karena adat turun - temurun tak lekang jua oleh zaman. Ada yang membeli seutas dua paling banyak, ada juga yang hingga genggamannya pada langitpun tak cukup. Biar banyak keriuhan, orang tak saling pandang curiga. Sebab ini mungkin - mungkin adalah satu-satunya waktu dimana, mereka bisa terlihat.
Semua bisa bilang tak ada nafsu belaka. Tak ada yang meragukan gilanya semata. Siapapun, merasa gila yang kurasa, yang ada meradang dan kaupun melayang. Hanyalah selingan dan kaupun menggapai di alam yang hitam, siapapun bahagia.
Seminggu bekerja, dengan rutinitas amat padat sebenarnya amat melelahkan. Tidur sehabis makan, mandi sebangunnya tidur, pulang kerja beberes cuci-cuci. Ya, bekerja memang melelahkan. Namun hal ini memang direncanakan. Ingin tetap berbadan bugar, belajar dan tidur cukup memang bukan perkara mudah. Apalagi kalau waktu sore terasa kian cepat. Seakan waktu tak kunjung melambatkan larinya hanya agar semua agenda terlaksana. Tapi semua yang diukur, bisa dilihat hasilnya. Dan hari ini, saya sedang menenggak kesegaran dari lelahnya berlari.
Setiap bulan, mesti ada saja barang-barang yang habis dikonsumsi. Barang konsumsi ini, menjadi wajib untuk tersedia kalau-kalau ketidakhadiranya mengganggu jalanya kehidupan. Oleh karenanya, ada aktivitas yang disebut belanja bulanan. Kegiatan ini diisi dengan menyelaraskan antara kebutuhan dan pendapatan untuk satu bulan lamanya. Dengan demikian, sepanjang bulan itu berjalan, tak ada lagi uring-uringan terkait kebutuhan yang berjalan. Katanya, kegiatan belanja bulanan adalah pertanda bahwa kita benar-benar hidup. Maka tengoklah sekali-sekali pada tetangga kita, kapan kita lihat mereka belanja bulanan?
Menurut lidah orang Indonesia, ada perkara yang sebenarnya bisa menjadi prioritas bila dilupakan. Beberapa akan menjawab kerupuk, tapi saya berani jamin kebanyak dari kita akan bilang sambal. Setiap daerah di Indonesia memiliki jenis racikannya masing-masing. Menggunakan minyak panas, ikan cakalang, atau telor dimasak di tungku dan lain-lain. Perkara bumbu mesti selera lidah. Namun kesediaannya sambal dalam panganan menjadi kian mutlak. Seakan bagai makan tanpa garam, jika ia tak ada. Kerap kali saya pun terlena olehnya. Sebab, tanpa menyiksa lidah, rasanya seperti tidak kenyang. Ya minimal manfaatnya membuat saya lebih banyak minum air putih.
Dipenghujung bulan, sekiranya kita dapat mendengar riak riak suara dompet, beberapa mesti ada yang serak serapah. Berusaha berdamai dengan keadaan, berharap tidak semakin kering kerontang hingga nafas tersambung diawal bulan. Kendati demikian, keahlian menahan nafas diakhir bulan disinyalir sebagai salah satu skill mumpuni. Sebab tak semua orang dapat melakukannya. Beberapa ada yang tega bernafas dengan mulut orang. Baik secara sopan, maupun dikokop paksa. Maka alangkah baiknya, mulai belajar menahan nafas sedari awal. Sehingga saat dompet mulai terasa serak serapah, minimal ada mulut orang yang bisa dikokop.
Selama bulan puasa, orang-orang mulai merubah kebiasaannya. Dari yang makan 3 kali sehari, merokok kapan saja, hingga menahan birahi sampai petang datang. Hal ini benar terjadi demikian. Kami-kami yang biasanya pergi ke pantry saat jam pertengahan antara istirahat dan baru masuk, biasanya minum-minum. Sekarang kebiasaan itu hilang begitu saja. Semua menjadi sibuk dengan kerjaan hingga waktu istirahat tiba. Saya sendiri kadang ragu, apa iya butuh istirahat? sedang makan minum tidak bisa. Namun itulah yang disebut hawa nafsu. Nafsu yang harus ditahan dan diubah selama sebulan lamanya. Sehingga saya ikut terbiasa, dan menjadi golongan orang-orang yang menahan lapar demi ketentraman sosial.
Popular Posts
-
Hari ini saya sedih. Perkara sedang capek dengan kehidupan. Mungkin menuju burnout saja. Paska menikah, tidak ada waktu untuk bertele-tele ...
-
Ga ada yang nyangka ternyata saya bakal balik lagi kesini. Entah ya, rasanya beda curhat dengan tampilan blog yang serba oren. Dibanding w...
-
Malam tahun baru kali ini, terasa sangat berbeda. Kamu tau? Ada banyak rasa kesepian, tapi malam itu rasa sepinya benar - benar berbeda. S...
Powered by Blogger.
Blog Archive
- January 2024 (1)
- June 2023 (1)
- March 2023 (1)
- January 2023 (3)
- December 2022 (4)
- November 2022 (1)
- October 2022 (1)
- September 2022 (1)
- August 2022 (10)
- July 2022 (1)
- June 2022 (12)
- May 2022 (5)
- March 2022 (8)
- February 2022 (5)
- January 2022 (3)
- December 2021 (2)
- November 2021 (6)
- October 2021 (8)
- September 2021 (1)
- August 2021 (7)
- July 2021 (1)
- June 2021 (11)
- May 2021 (14)
- April 2021 (16)
- March 2021 (26)
- February 2021 (20)
- January 2021 (26)