Dewa perhitungan sedang termenung kala itu. Berpikir bagaimana caranya agar tiap matematika yang diselesaikan, berakhir memuaskan. Angka-angka yang muntah dari kepalanya, sudah banjir kemana mana. Dari mulai perhitungan rerata pengidap kanker, presentase kekayaan kalangan pemerintah, kemungkinan untung pada saham 5 tahun kemudian, suhu tepat untung menggoreng cakwe, hingga jumlah biji wijen pada satuan onde-onde. Kesemua hitungan ini nampak memusingkan, namun tetap ia lakukan. Sebab adanya hidup memang untuk itu baginya. Kendati demikian, saat berhitung, ia tertinggal oleh peradabaan 2000 tahun kemudian.
Pada kesekian kalinya, kita akan selalu berada di tempat dan waktu yang salah. Sialnya, barangkali tak ada yang mendambakan hal ini tercipta. Sebab ia hadir untuk mengkoreksi. Hujata, makian, malu, tercoreng, terbuang, terusir adalah sekumpulan akibat dari kemunculannya. Tak ada yang bisa menghindarinya. Bahkan nabi sekalipun. Salah itu, akan tetap saya terima sebagaimanapun pahitnya. Sebab bersama sesal, waktu akan terus habis. Sebab bersama sedih, pembenaran tak akan pernah muncul. Sebab bersama lari, ia akan semakin keras menerpa. Hanya perlu berdiri dengan terseok-seok, hingga akhirnya berada di atas untuk siap terjun lagi pada lembah kesalahan.
Ancang-ancang, itulah kata yang selalu disematkan orang tua. Disematkan dalam bentuk kasih sayang, amarah, perintah, fasilitas, dan berbagai lainnya. Namun sekarang, ia harus saya lakukan sendiri. Sebab garis akhir ada ditangan ini. Mereka telah selesai, maka waktunya saya memegang kendali. Kendali atas apa yang akan dilakukan. Tak perlu melihat siapa yang sudah berlari, berjalan, merangkak, atau tergeletak. Sebab penilaian harus didasari oleh masa lalu saya. Sebab orang lain punya caranya sendiri. Sebab orang lain punya garis jalannya masing-masing. Biarlah saya merangkak, biarkan garis eksponen bekerja. Sebab garis akhir hanya sebatas esok atau kematian.
Sore hari merupakan perantara tepat hujan turun. Dalam gerimisnya, gelap mendung awan menutupi perasaan setiap insan dibawahnya. Beberapa gelisah diterpa rindu perkara terpintas pilu senja berkalut itu. Beberapa memilih berselingkup hangat bersama sekawanan kapuk. Tapi diri ini memilih untuk maju berkayuh roda. Tanpa kesiapan jelas, petaka memang bisa saja datang. Sembari menikmati rintikan, muncul pendar sinar berkelip perlahan. Kabut menyatu dengan diri merayap hingga nalar tak bisa berkutik. Memilih kembali memang sudah menjadi keharusan. Sebab melaju bersama seakan berteriak mati dijalan. Merayap, diarunginya jalan bersama kiasan mendung sore itu.
Persoalan yang cukup runyam sebenarnya banyak dijawab oleh diri sendiri. Salah rupa soalnya seperti ini, "Tolong sebutkan tiga kelebihan kamu?". Jangankan tiga, satupun aku ragu menjawabnya. Sebab kelebihan apa perlu validasi bila kita sebutkan? Absurd memang bila dipikir. Betapa sukarnya berkata baik pada diri. Sering kali, evaluasi banyak dibuat untuk menjatuhkan harga diri. Tidak sedikit kawanku yang tak berkutik pada cemoohannya sendiri. Padahal tak ada yang berpendapat demikian. Jika aku gemar menyiksa diri sendiri, pada siapa aku berharap belas kasih atas penerimaan diri ini?
Berhenti, lalu diam merupakan kenikmatan. Sebab istirahat memang sebuah hadiah. Pemberian dari ia yang selalu mengejar. Perkara berapa lamanya, ia terus termenung. Sebab kembali mengejar jelas melelahkan. Sebab kembali berjalan, tidak mengurangi rasa lelahnya. Sebab kembali merangkak, tidak memperjelas tujuan akhirnya. Sebab itu, sampai kapan ia harus mengejar?
Saya suatu ketika teringat ucapan teman. Ia berkata bahwa menghemat pengeluaran bukan cara menjadi kaya. Satu-satunya cara ialah meningkatkan pendapatan. Hal ini menggugurkan kalimat "hemat pangkal kaya". Bersebab ucapannya ini migrain di kepala tak kunjung membaik. Side hustle yang sedang naik daun, yaitu saham merupakan perkara sulit untuk orang dengan pendapatan harian. Bahkan dengan gaji bulanan saja, mereka yang tak punya uang dingin tentu akan berpikir ribuan kali. Mengikuti arus jelas tidak bijak. Sebab investasi tidak boleh dilakukan sembarangan. Bagi ia yang berada di fase free roam, mungkin memang inilah rasanya menimang-nimang. Bukan, bukan pilihan yang ditimang. Melainkan aksinya. Apakah akan tetap dipikir, atau siap salah dan maju terus?
Cerita ini bermula ketika seseorang itu berniat melakukan perjalanan nan jauh. Ia telah bertekad untuk hengkang secepat mungkin. Namun waktu tersisa amat panjang hingga bersantailah ia sejenak melupakan tekadnya untuk sebentar saja. Berangkat dari situ, waktu ternyata berlari lebih cepat dari perkiraan. Dengan tergesa-gesa ia balapan dengan persiapan. Terkekeh-kekeh waktu memandangi ia yang terseok. Malam itu, ia berdiri menggigil melihat sepur sudah jauh terlewat
Dalam masa senggang, terkadang diam saja benar-benar memuakan. Tidak melakukan apapun berarti mati. Mayat saja sedikitnya sibuk membusuk. Alih-alih menjadi mayat, maka mencari kesenangan perkara yang asyik. Tiap pribadi mesti beda beda kesenangannya. Ada yang suka miniatur, mengasuh hewan, memarahi istri, menjilati kesenangan orang lain, dan tak terhitung sebutannya. Kesenangan ini beberapa ada yang selamanya disenangi, adapun beberapa orang mudah bosan. Selayaknya selera makan, maka maklum bila dirasa ada saja orang yang berganti kesenangan. Ada yang tetiba merawat miniatur, mengasuh istri orang, menjilati hewan, memarahi kesenangan orang lain, dan tak terhitung sebutannya. Selama kita bersenang-senang, maka kegiatan apapun boleh dilakukan. Asal senang.
Pemilik jantung hati, jauh semerbak kehadirannya tak lekang dimakan jarak. Temunya merupakan candu kala orang terlampau sakau. Bila sudah berdekapan, hanyut diri dalam setiap lekukan. Temaram jiwa dibelai kasih. Bercumbu dengan memburu, menghujam rindu terhempas. Tiada usai, sebab waktu telah tewas. Baik jantungnya dan jantungku, semua memaki dirinya.
Perolehan tiap orang barang tentu berbeda. Hal ini bersebab setiap insan punya nilainya masing-masing. Tapi nilai apa yang diukur? Jika waktu yang ditukar, berapa nilai pekerjaan yang diselesaikan? Bila dasarannya adalah nilai pekerjaan, lalu seberapa berharga kemampuannya? Untuk sampai dari waktu ke nilai, apa yang mesti ditempuh? Sebab selama ini, tiap orang menjual waktunya untuk hidup. Lalu mati sembari amnesia.
Dari ribuan lulusan sarjana psikologi, sebenarnya bisa dilihat kecenderungan minat mahasiswanya. Yang paling kenamaan tentu saja terkait industri. Hal ini bersinggungan dengan penerimaan, penyaluran, strategi SDM dan sebagainya. Entah karena alam industri begitu menggiurkan atau bagaimana, menurut saya pusing bukan main. Dibelakangnya ada klinis yang membuntuti. Walau psikologi begitu dekat dengan kedokteran, nyatanya panjang perjalanan menjadi seorang psikiater. Selanjutnya, alam lain yang cukup dipertimbangkan adalah perkembangan, pendidikan dan yang terakhir yaitu sosial. Hemat saya, memang dalam dunia industri, psikologi sangat menjual. Namun dengan saingan yang begitu menggunung, daya jual jelas harus paling tinggi. Saya sendiri menyadari kelemahan saya, sehingga mencari peluang lain adalah jalan keluar. Walau akan bercekok di industri, sedikit sekali saya perhatikan yang melihat intrumen lingkungan dalam dunia SDM. Kemampuan\ sekitar merangsang, memicu dan membuat orang menjadi produktif dan atau sebaliknya. Dari situlah saya yakin, itulah panggilan saya.
Bercocok tanam di teras rumah sedang digandrungi tempo waktu. Siapapun ingin mencicipi hijaunya pekarangan ditutup dedaunan melayu manja dielus air. Tidak terkecuali bagi saya sendiri. Melihat rupanya saja sudah sejuk dipandang. Apalagi punya dan bagus pulak, siapa yang tidak mau? Perkara memilih, ini yang jadi persoalan.Sebab watak tiap daun mesti berbeda. Benar kata orang, yang bandel mesti yang paling enak. Enak apanya? Mana saya tahu. Tapi yang pasti, saya sudah merasakan. Benar enak memang.
Lelaki, apakah pria? Lalu jantan itu apa? Kalau-kalau tidak siap, apa jadi anak-anak? Anaknya apa tetap laki-laki? Kalau tetap laki-laki, apa ia berarti jantan? Atau kita tengok pelir saja? Kalau berpelir apa jadi laki-laki? Apa sudah pasti jantan? Kalau tidak jantan, apa ia masih pria? Tapi kan berpelir? Apa kita tengok peringai saja? Kalau jantan bagaimana peringainya? Sudah bisa disebut pria? Kalau anak-anak, masih bisa jadi pria kalau berperingai laki-laki walau tak berpelir? Masih susah juga? Kalau gitu belah saja otaknya. Kalau pria apa punya kromosom beda dengan jantan? Kalau laki-laki bagaimana? Lalu penting mana antara kromosom, pelir dan peringai? Atau semua itu tidak penting? Atau semuanya penting? Jadi bagaimana? Apa aku masih perlu membawa tas mu selama di mall?
Dewasa ini, era teknologi telah banyak menyusupi rongga kehidupan. Sedikit dan perlahan, kehadirannya semakin baku. Bahkan beberapa dari kita telah lebih dulu memasukannya dalam daging. Hingga menjadi sumber nyawa bagi geraknya. Perubahan ini sewajarnya kita terima. Sebab ketertinggalan hanya menyisihkan perih. Sudah tau begitu, tiang tower tinggi masih saja rebahan. Sebab pesuruh rakyat senang berpelisiran. Jadi kami-kami harus manjat pohon. Kalau jatuh mati, kalau tidak mati lagi.
Jika ditanya, harta apa yang sangat diinginkan? Sulit rasanya mendapat jawaban pasti. Sebab kebutuhan raga seakan tak berkesudahan. Bila satu keinginan tercapai, mesti tidak lama akan muncul lagi. Apa mungkin, sebenarnya keinginan ini hanya perantara? Kalau-kalau ternyata apabila keinginan tercapai, maka kebahagian selamanya akan tercipta? Tapi apa ada yang selamanya? Baik senang maupun sedih, semua bergantian. Hanya siklus yang selamanya ada. Itupun dibatasi kematian. Jadi harta apa yang sangat diinginkan? Jawabannya hanya ketidakterikatan.
Kalau awal-awal mencoba, salah sudah harus dimaklum. Apapun konteks yang dibicarakan, ia memang ditakdirkan boleh salah. Alih-alih dilakukan dengan benar, sejujurnya sengaja salah bukan hal buruk. Perkara jauh dekat dari kebenaran urusan belakang. Namun jalur pembuka pada hal baru yang kita segani. Iya, ini rasionalisasi saja.
Kamu tau, tempo hari saya pernah berangan. Berangan menjadi seorang penyidik di KPK. Kelewat sinting bukan? Barangkali banyak tikus menggerogoti harta negara. Biar dikata bukan orang benar, tentu saya tidak sudi. Lupa mungkin, mungkin lupa. Sumpahnya sebatas ucapan belaka. Sekarang? Sudah beda betul. Kalau ada pintu kecil, bolehlah ku ikut menari. Di dalamnya menyembul percikan emas orang-orang susah.
Tahapan menjadi seorang akademisi barangkali tidak berarti apa-apa bagi khalayak sekalian. Namun tidak demikian bagi saya. Rangkaian alur tulisan yang digali guna menjadi sarjana nampaknya dapat merubah hidup seseorang baik sadar atau tidak. Dari mulai menghadapi dosen, bersahabat dengan kesalahan, menunggu jadi prioritas hingga mengalahkan rasa takut akan orang baru. Tidak ada masalah berarti sebenarnya, karena kemelut itu hadir dari dalam diri. Justru kesadaran itulah hasil sebenar-benarnya pencerahan. Mungkin cara pandang ini tidak terlihat secara jasmani, namun pelajarannya semoga selalu menjadi penerang.
Setelah menjejalkan pantat, aku termenung. Memandang dinding kaku membuatku dingin. Setiap fase yang terjadi apakah kehendak tuhan atau bukan siapa tau. Jika ia maha sibuk, maka sia-sia upaya hidup untuk terus menggelinjang. Sedang kalau ia maha nganggur, siapa perlu disalahkan atas pertikaian yang terjadi? Dinding itu mulai tersenyum, melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tinggal. Perlahan dirampas jarak hingga tiada. Digantikan oleh gunung yang terseok membawa harapan.
Popular Posts
-
Hari ini saya sedih. Perkara sedang capek dengan kehidupan. Mungkin menuju burnout saja. Paska menikah, tidak ada waktu untuk bertele-tele ...
-
Ga ada yang nyangka ternyata saya bakal balik lagi kesini. Entah ya, rasanya beda curhat dengan tampilan blog yang serba oren. Dibanding w...
-
Malam tahun baru kali ini, terasa sangat berbeda. Kamu tau? Ada banyak rasa kesepian, tapi malam itu rasa sepinya benar - benar berbeda. S...
Powered by Blogger.
Blog Archive
- January 2024 (1)
- June 2023 (1)
- March 2023 (1)
- January 2023 (3)
- December 2022 (4)
- November 2022 (1)
- October 2022 (1)
- September 2022 (1)
- August 2022 (10)
- July 2022 (1)
- June 2022 (12)
- May 2022 (5)
- March 2022 (8)
- February 2022 (5)
- January 2022 (3)
- December 2021 (2)
- November 2021 (6)
- October 2021 (8)
- September 2021 (1)
- August 2021 (7)
- July 2021 (1)
- June 2021 (11)
- May 2021 (14)
- April 2021 (16)
- March 2021 (26)
- February 2021 (20)
- January 2021 (26)