Semalam, tetiba saya membuka galeri foto di gawai. Sepintas, tak ada yang menarik sebab foto-foto tersebut cenderung baru. Baru saja hendak tidur, tak sengaja tergeser menuju aplikasi berbagi foto. Disana, saya melihat foto kawan-kawan di kontrakan sebelumnya. Ini yang saya maksud, ada kenangan dalam jepretan. Walau terlihat asal-asalan, namun perasaan tidak demikian. Saya selalu berharap mereka semua baik-baik saja, dan dapat menikmati hidup yang naik turun, layaknya manusia yang mensyukuri pagi ini.
Akhir bulan, entah mengapa semua mulai terasa cepat. Semua mulai bergerak kesana-kemari. Bergerak lebih cepat dari mereka yang awal bulan. Tapi yasudah, sebab ada yang dari kami-kami, berpegang pada ada atau tidak hari ini.
Saya sudah menyiapkan bahwa hari-hari ini akan datang. Benar memang ada gunanya menahan diri. Akan muncul masa-masa kita membongkar rencana tersebut, walau ternyata memang bukan untuk target awal. Namun saya kira kini waktu yang tepat. Mari buka celengan untuk yang satu ini.
Sudah kehabisan kata-kata. Memang mengawali hal-hal yang belum biasa kita lakukan perlu penyesuaian niat dan perilaku. Walau hanya sekali, persiapannya membuat kaki terasa berat. Tak apa lah, mungkin ia benar. Tak apa bila cuma sekali. Mungkin.
Siang itu begitu terik dengan debu berterbangan sepanjang jalan. Sepinya jalanan Karawang bercampur kawasan kumuh menjadi serba gersang. Pak Kosim berhenti menggendong gerobak permen gulali sembari duduk dibawah pohon kersen yang mengabu. Ia lemas, sudah beberapa hari terakhir makan hanya sehari sekali. Terkecuali hari ini, panasnya udara hanya menambah lapar ia yang tak tersentuh nasi seharian. Tangannya gemetar sambil berusaha membuka rokok kretek lintingannya. Sambil mengepulkan tembakau, ia pejamkan mata.
Tetiba, ia merindukan anaknya yang sudah puluhan tahun tak menjenguk. Capek dan sepi terasa merayap, hidup sendiri membuatnya jijik. Jika saja ia tau kapan harus berhenti berjudi, mungkin keluarga dan rumahnya masih utuh. Dendamnya masih menyala walau sedikit pada manusia bernama Edi Suryatna. Seharusnya, ia tidak terhasut untuk menghabiskan hartanya. Setelah itu, ia tak pernah melihat Edi kecuali hari runtuhnya. Anak-anak yang takut kepadanya, istri yang muak, kebangkrutan yang melanda, ya ini adalah salah Kosim. Kini ia harus membawa kesalahan itu bersama sisa hidupnya.
Dalam lamunannya, terdengar suara menggelegar dari bahu jalan. Terlihat sebuah mobil BMW porak menabrak pembatas jalan. Tak ada siapapun kecuali Kosim. Dengan sisa tenaga, ia berlari mengharap semua selamat. Setelah membuka pintu, ia coba keluarkan sang pengemudi. Tak ayal, ingatannya menyeruak. Wajah orang yang ia cari akhirnya didepan mata merintih terluka. Ia bingung, haruskah ia tolong? Manusia brengsek yang sekarat memohon tolong sedang tak ada lain orang kecuali ia. Tidak, tuhan sengaja memberi jalan untuk Kosim membalas pikirnya. Ia cekik keras-keras sambil menangis, berharap waktu dan keluarganya kembali. Sore itu, banyak warga bergerombol karena ada laporan penemuan mayat. Seorang lelaki tua yang memegang rokok terbaring kaku. Bersama gerobak permen gulali di depan jalan yang baru saja disahkan Gubernur Edi Suryatna.
Sial, tepat masuk ujian kimia aku sudah merasa mules-mules. Walau toilet sekolah memang seperti tempat jin buang anak, terpaksa harus kesana. Aku berlari secepatnya agar waktu tidak terbuang banyak. Pikirku, kenapa ditengah waktu ujian terakhir mesti saja datang masalah. Sambil duduk, kucoba untuk mengeden sekuat tenaga. Aku cukup deg-degan, sebab setelah ujian ini, resmi berakhirlah aku sebagai anak SMA.
Kalau diingat-ingat, aku selalu mencoba untuk jadi anak baik. Belajar setiap sore, ikut mengaji ba'da maghrib, ikut les di malam hari, sampai-sampai jarang sekali main malam. Tapi memang betul, perjuangan hidup selalu menemukan jalan tersulitnya. Kamu tau? Seberapa keras aku belajar, tak bisa sedikitpun aku mengerti pelajaran kimia. Bahkan guru SMA ku yang sengaja mama bayar untuk les tiap malam, menyerah hari itu. Pak guru bilang, tidak ada jalan dan mesti lewat cara satu-satunya.
Di malam itu, saat mama menonton tv diruang tengah, pak guru mendekatiku. Ia bilang, anak-anak dulu memasukan ilmu lewat cara lain. Menurutnya, tuhan sengaja menyiapkan jalan pintas, namun memang rahasia agar manusia mau belajar. Tiba-tiba, ia memegang pahaku dengan perlahan membuatku sangat takut. Tapi pak guru bilang, bila tidak lulus, selain tidak punya masa depan, mamah dan papah pasti akan kecewa. Tangan pak guru semakin berani masuk ke dalam celana dalam, sedang aku diam saja agar bisa cepat-cepat. Aku bahkan masih ingat apa saja yang kuhisap dan kujilat. Semakin ku ingat, semakin jadi mulesku. Saat sakit yang terasa mulai menjalar, perlahan kurasakan ada yang menyeruak. Betapa bahagianya diriku melihat janin sialan itu tenggelam bersama darah di kakus ini.
Made sedang berdiri disamping rel becek dekat stasiun. Matanya melayang memahami bayangan rembulan yang bergoyang perlahan. Efek ciu yang diputar bersama teman-temannya terasa betul. Sembari berjalan menuju rumah, ia perhatikan rel kereta yang kumuh terlihat basah dibalut udara subuh. Dengan sempoyongan, Made mengingat bapaknya yang telah lama tak ia lihat. Bapak yang selalu mengajaknya menonton badut sulap di pasar malam kala itu. Namun itu sudah tiada, sekarang ia hidup tanpa bapak diantara kerasnya rel-rel stasiun. Mencari makan bagai anjing liar ditengah kerumunan sampah.
Di depan pintu rumah, semua terasa sangat sepi. Made masuk tanpa memperhatikan sekitar. Tak sengaja melihat kamar ibunya, ia tilik dua orang di ranjang merebah. Baik ibu dan laki disebelahnya tidur dengan telanjang bulat.
Ia masuk ke kamar dan memperhatikan dalam-dalam. Mereka berdua tepat berada di depan Made. Punggung badannya besar penuh dengan tahi lalat. Ia kenal betul bentuk rambut dan baunya. Tetiba, ada rasa menyeruak berusaha keluar dari raganya. Rasa yang ingin ia lampiaskan sebab terpaksa menjadi anjing liar milik orang-orang liar. Bangsat yang membuatnya menjadi kasar dan tak bermasa depan. Carut, ia ambil botol amer disebelahnya. Dengan muka memerah, ia genggam botol itu erat-erat sambil meracau "Bapak, bapak, bapak". Ibunya yang terganggu bangun melotot dan membentak " Bapak, bapak! Dia bukan bapakmu Goblok!"
Kukira, rasa-rasanya aku kembali jatuh cinta lagi. Terasa menjalar olehku aliran darah yang memacu dengan cepat. Hari ini, dengan dress yang ia belikan paska ulang tahunku, akan kubuat dia terkesima. Sembari menyiapkan kamar, kembali dibenarkan pita rambut lucu dirambutku agar terlihat bagus. Sepulang kerja, mestinya dia sangat lelah. Oleh karenanya, sudah kusiapkan makan malam kesukaannya dari sekarang. Sembari mengaduk sup jamur, aromanya yang semerbak membuat gairahku semakin membuncah.
Aku paham mengapa hari ini begitu istimewa. Sebab, beberapa waktu terakhir Mas Dio jarang sekali pulang. Beberapa pekerjaanya bukan hanya menyita waktu, namun juga perhatiannya untukku. Ia juga kerap terlihat lebih lelah dari biasanya. Aku tau, masa probasi jabatannya hampir habis. Dan tidak heran bila Mas Dio bekerja habis-habisan untuk itu. Maka sesampainya, aku biasa memijitnya sambil bermanja. Ia akan bercerita panjang lebar tentang kesehariannya, konflik dengan bosnya, main catur dengan para kolega dan pejabat-pejabat konglomerat sampai hal-hal kecil sekalipun.
Tepat saat kutaruh sendok sup itu, kudengar suara pintu diketuk. Kubuka dengan sumringah sembari kulihat wajahnya yang lelah dengan tatapan binar. Kupeluk ia sembari membawakan tasnya. Ia mulai bercerita dengan lembut semua kelelahan yang telah lewat. Dengan bisikan halus, kuajak dia untuk merebah. Kukecup dengan hangat. Kurasakan energinya kembali perlahan membaik, lalu kubuka bajunya perlahan. Saat meletakan kacatamanya di meja, tak sengaja hapenya menyala. Sepintas, terpampang jelas pesan bergambar bahwa anak pertama dari istrinya telah lahir.
Rasa-rasanya, seperti saya sedang lelah atau kehabisan ide. Sehingga ada kala saya kembali ke ruang nyaman. Entah apapun penyebab atau konteksnya. Mencari yang paling mudah, agar-agar bisa menggugurkan kewajiban. Tentu saja itu lebih baik daripada tidak.
Kemarin, saya sempat bersepeda. Tak tanggung-tanggung, jarak yang saya tempuh kala itu sudah sampai di km 10. Agak terasa capek ditambah jalanan basah akibat hujan besar sejam sebelumnya. Dengan keadaan setengah kuyup akibat keringet dan becek yang naik sampai kepala, saat melintas terlihat beberapa orang sedang bermain catur. Hal ini membawa saya pada berita yang sedang marak belakangan ini. Seorang bapak-bapak hobi main catur online menang melawan streamer catur kelas dunia. Sontak hal ini menghebohkan khalayak ramai sebab nampaknya berleyeh-leyeh di pos ronda selama ini ada manfaatnya. Bapak itu dikenal dengan nama akun "dewa_kipas". Usut punya usut, streamer "GothamChess" mengira bahwa sang dewa melakukan tindak curang. Tentu saja, sebagai netizen ter-tidak sopan se-Asia Tenggara, kami-kami menyerang akun GothamChess tanpa tabayun. Sekarang, tren catur Indonesia cukup menggeliyat beritanya di antero dunia.
Kalau dipikir-pikir, ngapain sih ribut-ribut soal main catur online. Perihal patriotisme negara? Sudah kadung jelek kita karena komentar onlinenya. Soal kehebatan dan kemampuan permainan catur? Ada cara yang lebih baik dan benar daripada ribut-ribut. Heran, bukan urusan kita, tapi kok mau ikut pusing. Sambil bersepeda, saya terus mikir, kenapa orang-orang sampai segitunya mikirin hal-hal yang bukan keperluannya. Padahal, bapak-bapak catur yang saya liat di jalan, sedang santai main catur sembari kakinya terendam banjir yang mengalir sepaha.
Bagi saya, bersepeda seperti melakukan perenungan. Setiap goesan pada tempat-tempat gelap adalah studio sendu. Bersama untaian angin malam, merenungkan setiap keadaan. Mungkin terdengar aneh, tapi kamu ga akan merasakan sedikitpun cape. Sebab kita terlalu menyelam, melaju menuju hati. Berusaha mengenal diri, hingga bisa mengerti apa dan siapa itu "aku". Sampai saat ini, masih saya lakukan, karena ingin jauh lebih kenal dengan dia yang itu adalah aku.
Ketika langit memilih sebal pada kami, ia hantamkan segala yang telah diambil. Menggelegar agung menampakan diri. Menyingsingkan sinar pada yang kembali menyalak menantang. Gemeriyak tanah perlahan menyingsingkan aspalnya. Pada mereka yang bersembunyi, ia tatap rapat-rapat. Agar kita semua sadar, bahwa tak ada yang kekal selain Ia.
Setelah ini, saya rasa harus mulai seriusin terkait ruang kerja. Banyak rasa-rasa yang sebetulnya tidak perlu dirasakan sejak awal jika dan hanya jika benar-benar dibenarkan. Perkara beda sedikit derajat saja hasilnya bisa begini, tidak heran banyak studi bilang kita memang bisa meninggal. Tewas hanya karena perkara menjejalkan badan pada kursi. Ya sekurang-kurangnya 8 jam sehari cukup. Cukup untuk membuat kita semua berubah bentuk. Dari hidup jadi setengah hidup. Beneran harus bener-bener benerin yang sebenernya ga perlu dirasa-rasa rasanya.
Perkara penjualan, dapat diibaratkan dengan wanita. Bagaimana wanita menampilkan diri dihadapan pria, akan diterjemahkan dalam tanggapan si pria tersebut. Walau sering kali tampilan memukau dapat menjadi penarik, layaknya manekin, tanpa jiwa, kecantikannya tak akan diingat. Itulah mengapa bahasan mengenai emosi dan empati tak habis dalam marketing. Sebab setelah tertarik, bagaimana ia dapat mengikat, konversi lalu menjadi setia selamanya. Untuk bisa dimanfaatkan, harus bisa ditarik. Untuk bisa menarik, harus bisa dipercaya. Dan untuk dipercaya, kita harus menampilkan empati terbaik. Dalam bentuk apa? Semua bisa dikompromikan.
Memang benar, kita tidak pernah seberani itu dalam hidup. Bahkan untuk bermimpi saja seakan tidak yakin. Ketakutan akan memiliki, atau sampai pada hal-hal diluar batas nalar kita sendiri. Dikritiknya gagasan itu dalam-dalam oleh hati. Seperti ada kerendahan dalam diri, yang memberi batas pada sebab-sebab. Menjadi pemberani memang tidak mudah, karena yang dilawan adalah keraguan dalam diri.
Pernahkah anda menyadari, bahwa selama kita sehat, kita tidak sakit? Namun saat sakit, kita tahu kita tidak sehat? Aneh memang, sebab jika rerata biasa kita adalah sehat, lalu bagaimana kita dapat memahami mereka yang sedari lahir sakit? (tentu sakit disini adalah perbedaan rerata biasa saya dengan dia). Walau memahami tidak perlu merasakan, tapi apa benar terpahami? Entahlah, yang jelas, tadi siang saya bangun dengan kelimpungan. Tak tahu hari ini adalah senin? selasa? atau hari pembalasan?
Di nusantara, pelbagai macam jenis teh tersedia. Dari mulai teh hijau, hitam, putih, hingga sintetis. Banyak dari kita terbiasa dengan teh hitam atau melati. Beberapa suka dalam bentuk kantong, beberapa lebih suka bentuk kering. Diminumnya pun dalam waktu berbeda-beda. Entah saat ada tamu, sore hari, saat senggang, makan siang, atau sebelum solat. Semua punya caranya masing-masing. Ada yang pakai air panas, air setengah panas, air setengah dingin, air dingin, atau tidak pakai air sama sekali. Menjamurnya industri teh merupakan gambaran akan kelekatan masyarakat nusantara dengan kearifan lokal tersebut. Ia tak akan lekang, bahkan saat manusia mati dan alien-alien bersantai sambil minum teh.
"Kamu subuh ini bisa berangkat ke Gresik?" ucap Inem.
"Bisa, nanti saya hubungi kalau sudah disana"
Junaedi cuman bisa geleng-geleng. Sudah gila dia pikir. Orang mau kerja sulitnya bukan main, ingin berlibur malah disuruh kerja. Dalam gubuknya yang berukuran 3x3 itu, ia koret dinding tikar rumahnya. Menurutnya, dimanapun kesempatan memang harus diambil. Apalagi dengan kondisi paceklik begini. Dengan kemantapan hati, ia mengajak Bowo untuk ikut bersamanya.
Bersama kuda besi, ia melaju menembus perjalanan. Malang masih diselimuti orang-orang tidur kala itu. Bersama semilir angin, melesat, membabat aspal di Sidoarjo. Disela-sela, sejenak menghirup udara telor dadar sembari meregangkan pantat yang telah mengeras. Dengan tuntasnya segelas teh, kembali ia berlari menggelinding.
Sesampainya, ia termenung. Biro itu porak poranda dan tak ada siapapun. Bowo hanya bisa duduk sembari menunggu. Menunggu siapa, itu tidak tau. Sebab Minem tak bisa dihubungi. Junaedi akhirnya memilih untuk berdiri untuk sekedar berpandangan dengan pohon sukun.
Tetiba datang seorang dengan badan tegap menjabatkan tangannya pada Junaedi dan Bowo. Ia meminta agar diikuti sampai rumah. Sesampainya, kami bisa lihat kondisi rumah hantu tersebut. Pagar besar berkarat, dengan halaman yang penuh dengan dedaunan. Saat pintu rumah dibuka, terlihat jelas debu-debu telah menebal disetiap barang. Kotoran tikus disela meja hingga kulkas kering yang terpampang.
"Kalian tidur disini saja." ucapnya datar.
"Perkara apa?" tanya Junaedi.
Orang itu pergi meloyos kembali menuju Biro. Junaedi dan Bowo saling pandang. Lagi tak paham mana hidup mana kerja. Si tegap itu bilang "Kalian mengerjakan administrasi, marketing, urus klien dan semua yang ada di Biro. Kalau ada apa-apa, itu bukan urusanku". Tetiba Inem datang. Menyambut Junaedi dan Bowo dengan sekeresek nasi jagung yang terbungkus basah. "Oke kalian urus ini dan itu, sudah jelas ya semua? Hanya boleh istirahat satu jam dan bekerja harus sampai jam 5 sore" sergap Inem.
Sejujurnya, tak ada dari Bowo maupun Junaedi yang paham apa maksud semua ini. Selama di Biro, mereka hanya termenung menatap alas meja. Baginya dengan perut lapar tak terisi selama 12 jam bukan waktu yang tepat untuk bersabar. Bukan juga waktu yang tepat untuk ditanya apalagi disuruh suruh. Bowo memilih berterus terang pada Inem. Bahwa semua ini bukan sesuatu yang mereka mengerti, bukan tapi salah sesuatu yang tak bisa ia pastikan. Iya, barangkali ini lebih tepat. Inem naik pitam. Mukanya memerah karena tenaga telah habis bersama kesabarannya. Ia hanya bisa menyuruh mereka pulang.
Diperjalanan pulang, Junaedi menatap Gresik dalam-dalam. Dihatinya, segala keabsurdan di dunia ini segar ia rasakan dihari itu. Bersama hari itu, rumah gubuk dan harapanya tenggelam dalam rawa di Gresik.
Setiap rentetan kata mengikis tiap gambaran dalam sukma. Membentang lentera untuk sekedar melirik kenyataan. Kembali tenggelam terseret patah demi patah peristiwa. Panas dingin menusuk perlahan bagai ia ada bersama. Sedangkan aku hanya duduk melihat, namun sejatinya mati suri.
Duduk kembali berjam-jam lamanya di meja kerja seperti mimpi kalau dipikir. Menjadi pribadi yang berfungsi baik secara sosial maupun material. Kalau ditilik kembali, ada masanya memang saya harus berhenti sekedar menghela nafas. Bukan nafas panjang memang, namun itu lebih dari cukup. Ya, dengan keruwetannya, banyak dari orang yang berlama-lama. Bahkan tidak kembali. Namun dengan adanya disini, membuktikan pada diri sendiri. Yah, sekarang saya bisa kembali berjam-jam lamanya di merja kerja.
"AHHHHHHH" ucap Junaedi. Terbangun dari kursinya untuk beranjak pergi melakukan peregangan. Kini ia sadar betul bahwa kursi yang ia gunakan hanya menyisakan sakit dan nyeri. Sakit punggung, tangan, kaki dan badan-badannya. Ia mengakui badannya yang renta dikalahkan kursi hanya selang beberapa jam saja. Dalam hatinya, ia bergumam untuk membanting kursi itu saat punya uang.
Saya kira, sudah selesai. Rampung semua kerendahan pada diri dan jiwa. Kelak semua akan kembali semula. Karena tidak ada yang selamanya dan selalu sementara. Jika sudah mulai merangkak, mohon berkabar.
Hening dan sunyi dibalut dingin beku ditengah kesendirian yang menerpa secara senyap merayap keseluruh jiwa mulai mengakar tak karuan karena ketiadaan api dan nyala pada tujuan hidup sebagai penentu arah mengalir sehingga memilih tergeletak tak keruan bersama gelap dan munkar nakir.
Kau terhisap pikuknya hidup. Perlukah kau tau, dalam hayal sungguh terilusi. Sehingga kau sabar menanti musim berganti di halaman surya. Merindukan hadirnya surga. Sukakah kau pada redup larut di dalam alam biru. Melukiskan mahligai dihampar guntur, tak kuasa menahan rasa. Dan awan menguak, berjatuh peluh alam. Hirup udara musim hujan, dan kau terhampar belia. Sore-Musim Ujan.
Saling tindih menindih. Kerap kali mendidih. Hingga mencapai perih. Lalu dibaluti luka. Luka yang penuh duka. Sudah terasa sudah. Terlalu menghiasi. Rintihan selalu terdengar menggebu. Yang terasa pilu. Dan membuat sendu. Sore-Merintih Perih
Hari ini, saya hanya bisa menggambar. Tidak ada tulisan. Tidak ada makna khusus. Akan saya biarkan wadah saya kosong. Rasa-rasanya, seperti nihil, hampa. Otak dan hati sinkron tak bersuara. Hanya organ tubuh sesekali bergerak, minimal bernafas. Ga ada apa-apa hari ini. Begitu juga besok, dan seterusnya.
Popular Posts
-
Hari ini saya sedih. Perkara sedang capek dengan kehidupan. Mungkin menuju burnout saja. Paska menikah, tidak ada waktu untuk bertele-tele ...
-
Ga ada yang nyangka ternyata saya bakal balik lagi kesini. Entah ya, rasanya beda curhat dengan tampilan blog yang serba oren. Dibanding w...
-
Malam tahun baru kali ini, terasa sangat berbeda. Kamu tau? Ada banyak rasa kesepian, tapi malam itu rasa sepinya benar - benar berbeda. S...
Powered by Blogger.
Blog Archive
- January 2024 (1)
- June 2023 (1)
- March 2023 (1)
- January 2023 (3)
- December 2022 (4)
- November 2022 (1)
- October 2022 (1)
- September 2022 (1)
- August 2022 (10)
- July 2022 (1)
- June 2022 (12)
- May 2022 (5)
- March 2022 (8)
- February 2022 (5)
- January 2022 (3)
- December 2021 (2)
- November 2021 (6)
- October 2021 (8)
- September 2021 (1)
- August 2021 (7)
- July 2021 (1)
- June 2021 (11)
- May 2021 (14)
- April 2021 (16)
- March 2021 (26)
- February 2021 (20)
- January 2021 (26)