"Kamu subuh ini bisa berangkat ke Gresik?" ucap Inem.
"Bisa, nanti saya hubungi kalau sudah disana"
Junaedi cuman bisa geleng-geleng. Sudah gila dia pikir. Orang mau kerja sulitnya bukan main, ingin berlibur malah disuruh kerja. Dalam gubuknya yang berukuran 3x3 itu, ia koret dinding tikar rumahnya. Menurutnya, dimanapun kesempatan memang harus diambil. Apalagi dengan kondisi paceklik begini. Dengan kemantapan hati, ia mengajak Bowo untuk ikut bersamanya.
Bersama kuda besi, ia melaju menembus perjalanan. Malang masih diselimuti orang-orang tidur kala itu. Bersama semilir angin, melesat, membabat aspal di Sidoarjo. Disela-sela, sejenak menghirup udara telor dadar sembari meregangkan pantat yang telah mengeras. Dengan tuntasnya segelas teh, kembali ia berlari menggelinding.
Sesampainya, ia termenung. Biro itu porak poranda dan tak ada siapapun. Bowo hanya bisa duduk sembari menunggu. Menunggu siapa, itu tidak tau. Sebab Minem tak bisa dihubungi. Junaedi akhirnya memilih untuk berdiri untuk sekedar berpandangan dengan pohon sukun.
Tetiba datang seorang dengan badan tegap menjabatkan tangannya pada Junaedi dan Bowo. Ia meminta agar diikuti sampai rumah. Sesampainya, kami bisa lihat kondisi rumah hantu tersebut. Pagar besar berkarat, dengan halaman yang penuh dengan dedaunan. Saat pintu rumah dibuka, terlihat jelas debu-debu telah menebal disetiap barang. Kotoran tikus disela meja hingga kulkas kering yang terpampang.
"Kalian tidur disini saja." ucapnya datar.
"Perkara apa?" tanya Junaedi.
Orang itu pergi meloyos kembali menuju Biro. Junaedi dan Bowo saling pandang. Lagi tak paham mana hidup mana kerja. Si tegap itu bilang "Kalian mengerjakan administrasi, marketing, urus klien dan semua yang ada di Biro. Kalau ada apa-apa, itu bukan urusanku". Tetiba Inem datang. Menyambut Junaedi dan Bowo dengan sekeresek nasi jagung yang terbungkus basah. "Oke kalian urus ini dan itu, sudah jelas ya semua? Hanya boleh istirahat satu jam dan bekerja harus sampai jam 5 sore" sergap Inem.
Sejujurnya, tak ada dari Bowo maupun Junaedi yang paham apa maksud semua ini. Selama di Biro, mereka hanya termenung menatap alas meja. Baginya dengan perut lapar tak terisi selama 12 jam bukan waktu yang tepat untuk bersabar. Bukan juga waktu yang tepat untuk ditanya apalagi disuruh suruh. Bowo memilih berterus terang pada Inem. Bahwa semua ini bukan sesuatu yang mereka mengerti, bukan tapi salah sesuatu yang tak bisa ia pastikan. Iya, barangkali ini lebih tepat. Inem naik pitam. Mukanya memerah karena tenaga telah habis bersama kesabarannya. Ia hanya bisa menyuruh mereka pulang.
Diperjalanan pulang, Junaedi menatap Gresik dalam-dalam. Dihatinya, segala keabsurdan di dunia ini segar ia rasakan dihari itu. Bersama hari itu, rumah gubuk dan harapanya tenggelam dalam rawa di Gresik.

No comments:
Post a Comment