Ada banyak hal berseliweran di kepala. Masalahnya bukan hanya pada tingkat keseringan, melainkan tingkat kepadatan pikiran itu sendiri. Dan diantaranya, banyak pikiran-pikiran yang muasalnya bukan dari saya sendiri. Dari pekerjaan, teman kerja, teman, kegiatan, hiburan dan sebagai sejenisnya.
Jika boleh, rasanya saya ingin menangis di antara fananya kamar kesayangan ini. Bersebab keadaan tidak memungkinkan diri untuk pecah haru depan orang-orang. Karena ada satu pikiran yang akhir-akhir ini jadi jangkar bagi akal untuk berlari.
Saya lagi mikir gimana cara berdamai dengan diri. Saya merasa cukup baik dalam mengelola apa-apa yang orang bilang emosi. Walau sebenarnya, walau saya akui memang ada peningkatan, mungkin hanya peningkatan kecil saja. Tapi yang satu ini, ada sesuatu yang saya takutkan. Sesuatu yang saya pikir memang hasil dari pembelajaran. Yang menciptakan saya bisa berada dititik ini, hingga saat ini. Hasil pembelajaran, yang membuat saya menjadi "Teguh" dalam bertindak, berpikir dan berencana.
Saya dari awal memang sudah akan menetapkan nasib demikian. Dan sampai saat ini, ketetapan nasib itu masih dipegang erat-erat. Sedikit saya coba ungkapkan dengan orang - orang sekitar soal ke khawatiran, tapi nyatanya memang selalu dianggap aneh. Betul, saya juga ga ngerti, tapi itu mungkin yang saya sebut efek samping. Karena terlalu "teguh" dalam memegang pembelajaran tersebut.
Ada yang bilang, bahwa kita hidup banyak memegang perjanjian dengan diri sendiri. Saya setuju. Perjanjian yang dipelajari baik dari orang terdekat hingga kesepakatan sosial yang menjadi panduan dalam hidup. Maka ga heran kalau saya bilang, si "pembelajaran" ini merupakan kesepakatan paling lama dalam hidup saya yang selalu saya pegang. Sekarang, dalam waktu cepat perjanjian itu harus diganti dengan yang baru, sedang yang lalu telah lama mengakar. Hingga ia menjadi jati diri, dan melepas perjanjiannya seakan takut akan kehilangan kepastian.
Ah yaaa, kepastian. Yang menjadi soal utama masalah ini. Hidup diantara ketidakpastian selalu tidak enak ya? Betul, saya juga. Tapi untuk saat ini, saya lebih takut kehilangan diri sendiri.
Tapi saya akan kembali ke topik. Dalam pemikiran yang kian rumit ini, saya tau bahwa benang terlampau kusut, tak bisa diselesaikan sendiri. Saya harus dibantu. Yang saya sayangkan, saya selalu berharap. Berharap orang yang bersama saya bisa menemani disaat-saat seperti ini. Tapi tiap saya mau mulai, ucapannya terlampau kejam. Tak berani saya membuka tameng tameng diri. Walau tau setelahnya saya akan hidup bersamanya.
Dan disaat saya meracau seperti ini, rasanya saya semakin hilang menjauh dari rumah. Rumah yang baik secara harfiah maupun sifat, menjauh benci pada saya. Yang karena telah lamanya menjadi orang-orang tak terlihat. Lalu ketika saya berusaha mengejar rumah, ia seakan meminta persembahan. Rumah keong yang selalu saya bawa sebelum masuk rumah wajib ditandaskan. Padahal saya belum yakin penuh. Atau hanya ingin dipersilahkan masuk rumah, sebelum akhirnya berganti wujud.