Setiap orang punya lukanya masing-masing. Punya pengalaman, pembelajaran dan pengamatannya sendiri-sendiri. Dalam menghadapinya, cara-caranya pun demikian nafsi-nafsi. Ada yang melawan, memahami, menyelesaikan, lari, atau disembunyikan. Setiap alasannya bisa dibenarkan sesuai dengan kaidah masing-masing. Namun yang belum selesai, pasti akan terungkit kembali. Ia akan terus menghantui walau tau sebenarnya, ia yang berani bisa jadi menyembuhkan luka lamanya.
Saya tau saya belum selesai. Dan dibawanya luka itu dalam sembunyi yang kian tercium ini jelas pertanda dia minta dihadapi. Tapi siapakah aku yang tak punya keberanian untuk melawan? Sebab aku tau puluhan tahun itu sudah dilewati dengan menutupi luka dan belajar darinya. Tapi nyatanya, ada hal yang membuat sang luka menjadi pengganjal. Menjadi lawan dalam setiap tindakan yang justru tidak hanya menyakiti diri sendiri, namun juga orang lain. Mungkin kedepannya, bisa lebih buruk? Aku mana tau tapi aku setuju.
Sekarang saya tersesat. Berusaha membabat habis hutan sial yang bikin keadaan makin kalut. Sebab tak semestinya yang lalu tetap dibawa-bawa. Namun siapa aku yang hanya bocah ingusan dalam ribuan tahun manusia hidup? Barangkali ini masalah klasik yang biasa dihadapi namun aku terlalu payah dalam menghadapinya. Ditengah hutan ini, saya butuh bantuan. Tapi bukan kamu. Bukan siapapun. Melainkan si pemberani yang tau bahwa kalau tidak sekarang, tiada lagi nanti-nanti.

No comments:
Post a Comment